Sejarah singkat Keraton Yogyakarta, kapan dibangun, fungsi, dan isinya

24 Oct 2023, 23:13:16 WIB
Sejarah singkat Keraton Yogyakarta, kapan dibangun, fungsi, dan isinya
Sejarah Keraton Yogyakarta. (Instagram/Kraton Jogja)

Kabaryo.com - Keraton Yogyakarta menjadi salah satu destinasi ketika kamu liburan di Jogja. Tapi sebelum berkunjung, tak ada salahnya kamu ketahui dulu sejarah Keraton Yogyakarta ini.

Dikutip dari situs resminya, berikut sejarah singkat Keraton Yogyakarta:

Sejarah Keraton Yogyakarta

Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede (sebelah tenggara kota Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.

Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara Ngayogyakarta – atau lazim disebut Yogyakarta – dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.

Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada tanggal 15 Februari 1755. Dalam pertemuan ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda.

Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta.

Tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) adalah tanggal bersejarah untuk Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal inilah proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755. Inilah jawaban dari pertanyaan kapan Keraton Yogyakarta didirikan.

Proses pembangunan berlangsung hingga hampir satu tahun. Selama proses pembangunan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang. Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kemis Pahing, 13 Sura 1682 TJ). Dalam penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai dengan sengkalan memet: Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.

Seiring berjalannya waktu, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami pasang surut. Utamanya terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial baik Belanda maupun Inggris. Pada tanggal 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan Hamengku Buwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo (putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.

Wilayah kekuasaan Kasultanan yang diberikan kepada Paku Alam I meliputi sebagian kecil di dalam Ibukota Negara dan sebagian besar di daerah Adikarto (Kulonprogo bagian selatan). Daerah ini bersifat otonom, dan dapat diwariskan kepada keturunan Pangeran Notokusumo. Oleh karena itu, sejak 17 Maret 1813, Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.

Perubahan besar berikutnya terjadi setelah lahirnya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengucapkan selamat atas berdirinya republik baru tersebut kepada para proklamator kemerdekaan. Dukungan terhadap republik semakin penuh manakala Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia. 

Menerima amanat tersebut maka Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno, menetapkan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam merupakan dwi tunggal yang memegang kekuasaan atas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sempat terkatung-katung selama beberapa tahun, status keistimewaan tersebut semakin kuat setelah disahkannya Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Dengan demikian, diharapkan agar segala bentuk warisan budaya di Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dapat terus dijaga dan dipertahankan kelestariannya.

Fungsi Keraton Yogyakarta

Berdasarkan penjelasan di atas, fungsi Keraton Yogyakarta adalah sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya, serta dilayani oleh para abdi dalem. Selain itu fungsi Keraton Yogyakarta yang lain adalah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta, seperti dikutip dari Arsip Perpustakaan Yogyakarta.

Isi Keraton Yogyakarta

Keraton Yogyakarta terdiri dari tiga bagian yang terdiri dari komplek depan Keraton, kompleks inti Keraton dan kompleks belakang Keraton. Komplek depan Keraton terdiri dari Gladhjak-Pangurakan (Gerbang Utama), Alun-alun Ler, dan Masjid Gedhe . Kawasan komplek inti di Keraton Yogyakarta tersusun dari tujuh rangkaian plataran mulai dari Alun-Alun Utara hingga Alun-Alun Selatan, yaitu Pagelaran dan Sitihinggil Lor, Kamandungan Lor, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kamandungan Kidul, dan Sitihinggil Kidul. Sedangkan kompleks belakang Keraton terdiri dari alun-alun kidul dan plengkung nirbaya.

Di komplek Keraton Yogyakarta juga ada bangsal-bangsal, berikut penjelasan singkat sejumlah bangsal di Keraton Jogja. 

Bangsal Pagelaran merupakan bangunan utama di Keraton Jogja yang awalnya memiliki 63 tiang bambu. Empat di antaranya diganti dengan delapan pilar besar oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, menandakan penyempurnaan Bangsal Pagelaran. Kini, bangsal ini digunakan untuk upacara Grebeg pada hari besar Islam dan sebelumnya sebagai tempat pertemuan punggawa dengan sultan serta gedung perkuliahan UGM dari 1949-1970.

Bangsal Siti Hinggil, dulunya beratapkan bambu, disempurnakan oleh Sri Sultan HB VIII pada 1926 dengan tanda Condrosengkolo dan Suryosengkolo. Digunakan untuk penobatan Sultan Keraton dan Pisowanan Agung, serta pelantikan Ir. Soekarno sebagai presiden RI.

Bangsal Manguntur Tangkil, di dalam Bangsal Siti Hinggil, bermakna rakyat menghadap raja saat singgasana. Bangsal Witana, didirikan Sultan HB I pada 1756, simbol awal putra mahkota sebagai raja, menempatkan pusaka kerajaan seperti tombak Kiai Ageng Plered.

Bangsal Pancaniti di Kamandhungan Lor, tidak dapat dimasuki pengunjung, menampung Gamelan Sekaten dan digunakan pada upacara Garebeg Sekaten. Bangsal Srimanganti digunakan sultan saat kembali ke Kedhaton, kini mementaskan seni budaya dan menerima tamu.

Bangsal Kencana, dibangun Sultan Hamengku Buwana I, berfungsi untuk menyambut tamu agung, upacara pernikahan, pementasan seni, dan menghadap abdi serta pejabat seusai Idul Fitri.